Menonton Laga Belgia VS Jerman

Allah Subhanahu Wata’ala rupanya baru mentakdirkan saya untuk menonton pertandingan sepakbola langsung di stadion setelah 29 tahun. Keinginan yang sudah ada sejak dahulu, tapi entah kenapa selalu muncul  saja halangan yang mengundurkan niat saya. Maka, ketika datang tawaran dari seorang teman, tanpa pikir panjang saya pun menerimanya. Apalagi tim yang akan berlaga adalah Jerman, tim favorit saya sepanjang masa. Tak sabar saya menanti datangnya hari itu.

Berkali-kali masuk Stadion baru sekarang Nonton

Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya menonton bola di stadion, kesempatan itu pernah datang waktu SD dulu. Bertempat di stadion Singaperbangsa Karawang, saat itu saya menonton laga antara tim SD Rengasdengklok Selection Vs Tim SD Selection kecamatan lain (sorry saya lupa kecamatan apa…hehehe) dalam final piala Dandim 0604 Karawang. Meski demikian, tanpa menyepelakan perjuangan teman-teman, saat itu saya belum bisa dibilang nonton bola ‘beneran’. Lha wong, yang ditonton teman-teman sendiri , saya dan semua supporter tidak duduk di tribun tapi berdiri di lapangan sambil berteriak-teriak menyemangati teman-teman yang bertanding, nontonnya gratis karena dikerahkan SD saya untuk jadi supporter, serta jumlah penonton yang paling banter Cuma 50 orang.

Betul,  saya juga pernah ke Stadion Utama Senayan dan duduk di tribunnya berjam-jam bersama ratusan ribu orang, tapi itu dalam rangka tabligh akbar Nahdlatul Ulama (NU) diajak Ayah dan para Kyai di kampung saya. Saya pernah juga masuk ke Estadio de Dragao di Porto Portugal, Santiago Bernabeu di Madrid, Old Trafford di Manchester dan Emirates Stadium di London. Tapi, itu semua dalam rangka jalan-jalan dan tak ada pertandingan kala saya datang.  Karena itu momen nonton di stadion ini terasa istimewa apalagi : saya nonton di Belgia, yang ditonton Jerman dan bayar tiketnya pakai euro (yang terakhir ini apanya yang istimewa ya?)

Dan, momen itupun akhirnya datang pada Jum’at 24 Ramadhan 1431 H atau bertepatan dengan 3 September 2010. Diiringi mentari di akhir musim panas yang mulai meredup di luar sana, saya melangkahkan kaki keluar dari kereta yg membawa saya dari Leuven,  menuju lobi utama stasiun Brussel Central. Tepat pada waktu yang telah disepakat, 19.30 waktu Belgia, saya bertemu dua orang sobat saya dari Gent : Esa Syswanto (Esa) dan Himma Adieni (Dini). Mereka berdua mahasiswa Master di Universiteit Gent. Tujuan kami jelas : Menonton Belgia VS Jerman dalam laga kualifikasi Piala Eropa Grup A.

Setelah keluar sebentar berburu kebab untuk menu buka puasa, berangkatlah kami naik metro menuju Koning Boudewijn Stadium tempat laga berlangsung.

Heysel Menyimpan Kenangan Buruk

Koning Boudewijn Stadion (Bahasa Belanda) atau Stade Roi Baudouin (Bahasa Perancis) adalah stadion nasional Belgia. Terletak di Heysel, sebuah distrik di barat laut Brussel, stadion yang dibangun pada 1930 dan direnovasi 1985-1995 ini bersebelahan dengan monument nasional Belgia  Atomium, Taman Mini Europe dan juga arena ekspo Brussel. Stadion ini menyimpan kenangan buruk akan tragedi Heysel 29 Mei 1985. Ketika itu 39 orang suporter Juventus tewas terbunuh dan 600 lainnya luka-luka akibat kerusuhan yang dipicu ulah pendukung Liverpool yang mengakibatkan runtuhnya sebagian tribun stadion. Bencana itu terjadi dalam final piala champions antara Juventus kontra Liverpool. Juventus keluar sebagai pemenang lewat gol tunggal Michel Platini (sekarang jadi Presiden UEFA). Tragedi yang sangat disesali PM Inggris kala itu Margareth Tatcher membuat UEFA menjatuhkan larangan bermain bagi semua klub inggris dalam laga-laga di tingkat Eropa selama 5 tahun.

Miskin Drama Kaya Sensasi

Deangan alasan keamanan dibuatlah kebijakan memisahkan kedatangan supporter Jerman dan Belgia. Suporter Belgia turun di Heysel, stasiun terakhir dan paling dekat dengan stadion.Tiket kami tribune 2 blok F ring 17 di banch nomor 3, kami berada di tribun suporter Jerman. Karena itu kami turun dari Metro di stasiun Simonis, satu stasiun sebelum stasiun Heysel sebagai pemberhentian bagi suporter Jerman. Turun dari Metro, saya terkesima menyaksikan para Polisi yang bertubuh tinggi besar lebih besar dari umumnya Polisi Belgia. Setelah membaca tulisan Polizei (dan bukannya Politie) di seragam mereka dan Kang Esa yang berbicara dengan polisi itu dalam bahasa Jerman, baru saya tahu kalau mereka adalah Polisi Jerman yang didatangkan untuk mengawal pendukung die nationalmannschaft.

Kami masuk stadion agak telat sekitar 10 menit karena salah masuk tempat penukaran tiket. Suasana di stadion berkapasitas 50.100 tempat duduk ini sudah hingar bingar dengan sorak sorai penonton.  Segera kami duduk menyaksikan pertandingan sambil menyantap kebab menu buka puasa. Suasana berbeda segera saya rasakan dengan menonton bola di televisi. Dari jarak jauh  22 pemain yang berlaga seperti sedang bermain-main saja. Bola ditendang ke sana kemari, berlari, mengoper, melompat, dan sesekali beradu badan untuk meraih bola. Semua saya saksikan dari satu sudut pandang belaka. Tidak ada tayangan ulang dengan slow motion dari bermacam arah untuk memberi  kesan dramatis. Saya lekas  tersadar betapa digdayanya industri Televisi mengemas siaran langsung sepakbola menjadi sebuah pertunjukan drama. Drama yang dikreasi lewat puluhan kamera yang disebar di setiap sudut lapangan, bahkan dari helicopter dan kamera di atap stadion. Ekspresi setiap pemain pun tergambar jelas lewat zoom in dan zoom out sang cameramen. Televisi pula yang kadang menjadikan penonton sok tahu, merasa lebih bisa dari mereka yang bermain di lapangan karena merasa dibekali statistik permainan dan analisis lihay plus lebay sang komentator. Pesona dramatik sepakbola ini tidak saya rasakan saat itu.

Terlepas dari semua itu menonton langsung di stadion memberikan sensasi tersendiri. Gemuruh sorak sorai penonton, orkestrasi yel-yel, sorot lampu stadion yang menyilaukan memberikan atmosfer yang gahar dan unik dan tidak bisa dibeli lewat tayangan televisi. Yang paling berharga adalah kesempatan melihat Mesut Oezil dengan cerdik mengelabui back lawan atau terkesima oleh Bastian Schweinsteiger yang menari-nari  mengkreasi serangan. Semua itu saya lihat secara langsung dengan mata kepala sendiri tanpa perantara kamera. Langsung saya lihat batang hidung mereka!

Menemani saya menikmati hangatnya malam itu, Kang Esa sesekali ikut berteriak mengikuti yel-yel supporter Jerman. Namun saya yakin kebanyakan dia asal teriak saja. Karena, meski pernah 6 bulan penelitian di Eberhard Karls Universität Tübingen di Jerman, yel-yel suporter Deutschland tidaklah mudah diikutinya. Lain lagi dengan Dini, dia asyik melihat pertandingan lewat kameranya sambil sesekali memperhatikan orang yang lagi lihat orang bermain. Polah kedua karib ini memberikan hiburan tersendiri bagi saya.

Meski bermain kurang mengesankan, Jerman akhirnya menang 1-0 lewat gol Miroslav Klose di menit ke-51. Sensasi menonton di stadion semakin bertambah ketika selepas pertandingan bersama ribuan suporter Jerman, saya ikut menyambut victory lap para pemain Jerman sebagai ucapan terima kasih atas dukungan para suporter.

Leave a comment