Puasa dan lebaran di Leuven, Belgia

Berfoto bersama di depan studenten mosque (Masjid mahasiswa) Katholieke Universiteit Leuven bersama KH.Mustofa Bisri (Gus Mus) dan KH.Yahya Cholil Staquf yang sedang melawat ke Belgia

Leuven, terletak sekira 30 km di tenggara Brussels terkenal sebagai kota pelajarnya Belgia. Adalah Katholieke Universiteit Leuven (KU Leuven), universitas katholik tertua yang masih eksis di dunia yang menjadi jantung bagi denyut nadi kota ini. Universitas yang berdiri sejak 1425 Masehi ini menjadi tujuan bagi mahasiswa dari seluruh dunia.  Tak kurang dari 5000 mahasiswa internasional (17% dari total 36.700 mahasiswa) datang setiap tahunnya untuk belajar di Leuven. Spektrum Ilmu yang mereka pelajari beragam, mulai dari filsafat, theologi, sains,teknik, Bio-engineering, kedokteran dan ilmu-ilmu sosial. Hal ini menjadikan kota yang tidak lebih luas daripada Magelang ini sangat bernuansa internasional. Beragam suku bangsa dan kebudayaan dapat kita temukan di Leuven. Mahasiswa dan imigran yang umumnya datang dari wilayah Maghrib, Turki, etnis Kurdi dan Nepal menjadi mozaik yang menyusun lukisan suasana Leuven yang internasional. Mahasiswa Indonesia sendiri berjumlah sekitar 30 orang dan tergabung dalam PPI Leuven (Perhimpunan Pelajar Indonesia Leuven).

Jati diri KU Leuven sebagai universitas Katholik tidak menghalangi universitas ini dalam melayani kebutuhan beribadah mahasiswa muslim . KU Leuven memiliki  1 masjid yang terletak di tengah kota, tepatnya di Rijschoolstraat 25 dan 1 musholla di kampus Heverlee, sedikit di barat kota. Kehidupan keagamaan mahasiswa muslim di Leuven diwadahi dalam sebuah organisasi bernama IMSAL  (International Muslim Students Association of Leuven) yang berada langsung dibawah koordinasi Rektorat KU Leuven. Selain itu,  dalam buku agenda saku resmi KU Leuven yang dibagikan ke seluruh mahasiswa setiap tahunnya, awal dan akhir Ramadhan pun ditandai, sebagaimana Natal , tahun baru dan hari-hari besar lainnya. Tahun ini,  1 Agustus dan 30 Agustus ditandai sebagai “beginning of Ramadan” dan “Eid al-Fitr”.

Selain masjid yang dikelola IMSAL, terdapat tiga masjid di Leuven yang berbasis kepada komunitas imigran di Leuven seperti Maroko, Turki dan Kurdi. Di mesjid-mesid itulah suasana Ramadhan bisa sedikit dirasakan. Muslim mengisi ramadhan dengan pengajian-pengajian, buka puasa bersama dan tarawih.

Puasa sunyi di negeri asing

Tahun ini kaum muslim di Belgia memulai puasa pada 1 Agustus 2011, persis seperti di tanah air. Bedanya, saat ini Belgia dan belahan bumi utara lainnya sedang memasuki musim panas yang siangnya lebih panjang daripada malam. Akibatnya durasi puasa pun menjadi lebih panjang, sekira 17-18 jam.

Ini adalah pengalaman puasa yang ketiga bagi saya dan pertama bagi istri saya yang baru datang November tahun lalu. Awalnya terasa berat mengingat puasa tahun ini semakin merapat ke puncak musim panas yang membuat jadwal puasa menjadi ekstrim, sahur jam 2.30 pagi, subuh jam 3.15, buka puasa jam 21.30, Isya’ pun baru datang mendekati tengah malam. “Lailatash shiyam” pun mejadi sangat pendek, kurang dari 6 jam. Namun, kesungguhan niat dan rasa syukur masih dipertemukan dengan Ramadhan membuat semuanya terasa ringan ketika dijalani. Dan, sebagaimana dijanjikan Kanjeng Nabi, kegembiraan dan kelegaan tak terkira kami rasakan ketika berbuka.

Selain musim yang tidak ramah, tempat yang asing membuat puasa semakin tidak mudah. Sebagaimana negara-negara eropa lainnya, Belgia adalah negara netral agama. Agama menjadi urusan pribadi para pemeluknya bukan urusan pemerintah. Tidak ada penetapan awal dan akhir Ramadhan dari pemerintah, himbauan untuk menutup rumah makan, atau adzan yang menandai waktu berbuka. Sahur dan berbuka pun kita lakukan sendiri, berdasarkan software adzan di laptop atau jadwal imsak yang kita dapatkan dari masjid setempat. Hidup pun berjalan seperti biasa, tak ada perlakuan khusus untuk orang yang berpuasa. Kegiatan akademik atau aktivitas di kantor tetap berjalan secara reguler. Jangan harap ada pengurangan jam kerja seperti di Indonesia.

Puasa di tengah keterasingan seperti ini membuat puasa benar-benar menjadi laku sunyi antara hamba dengan Tuhannya. Tidak terasa semarak Ramadhan seperti di tanah air. Orang makan dan minum seperti biasa di siang hari, di kampus, kantor,  taman maupun di kafe-kafe yang bertebaran di seluruh penjuru kota. Tak saya temukan semarak para pedagang yang menggelar ta’jil di pinggir jalan menjelang berbuka. Semua itu tentu saja menjadi godaan ketahanan iman dan puasa kita. Banyak orang pun tidak tahu kalau kita sedang berpuasa. Puasa pun menjadi urusan yang sangat personal. Bermotif keihklasan dan berbasis kejujuran menjalankan perintah Allah semata. Bukan karena ikut-ikutan atau malu pada lingkungan sekitar. Bagi saya, sangat terasa kandungan firman Allah dalam sebuah hadis qudisy “Puasa itu untuk-Ku (Allah) dan Akulah yang akan mengganjarnya”.

Sangat wajar akhirnya kerinduan akan semarak suasana puasa di tanah air pun kami rasakan. Maka,  buka puasa bersama dengan teman-teman PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) atau dengan komunitas Indonesia yang difasilitasi KBRI setiap akhir pekan menjadi pengobat kerinduan akan syiar Ramadhan yang meriah di kampung halaman.

Makanan Halal

Soal makanan tentu saja menjadi persoalan tersendiri bila kita hidup di negeri orang. Masalah kehalalan dan jenis makanan biasanya suka merepotkan. Untungnya, kota kecil yang sangat multikultural ini menyediakan banyak pilihan. Untuk bahan-bahan seperti beras, sayur-sayuran, buah dan bumbu masak terdapat tiga toko asia; dua di Brusselsestraat dekat saya tinggal dan satu lagi di Naamsestraat di samping rektorat KU Leuven. Karena itu meski orang-orang Belgia umumnya makan roti dan kentang, saya sekeluarga tetap makan nasi setiap hari, dengan menu Indonesia!  Itu karena tempe, tahu, bumbu pecel dan rempah-rempah “eksotis” nusantara pun tersedia di toko-toko ini.  Daging halal pun bukan masalah, ada satu toko daging halal di Mariathereshia straat, satu toko khusus daging ayam halal di Brusselsestraat dan Exotic World toko yang menyediakan makanan-makanan “eksotik” termasuk daging halal dan produk-produk olahan daging halal (sosis, burger, salami dan olahan lainnya). Atau, jika sedang malas memasak, terdapat juga restoran-restoran kebab milik orang-orang Turki yang bertebaran di seluruh Leuven.

Lebaran

Sebagaimana puasa, suasana lebaran pun berbeda dengan di Indonesia. Tidak ada keramaian di pasar dan supermarket 1 minggu jelang lebaran, laporan arus mudik di televisi, ketupat, tak akan pula kita temukan semarak pawai obor dan senandung takbir yang syahdu di malam takbiran. Semua berjalan normal, bahkan 1 syawwal pun bukan hari libur.

Shalat Idul fitri di Leuven  dilaksanakan di masjid-masjid yang ada di sini. Karena bukan hari libur, umumnya kaum muslimin di sini mengambil cuti kerja barang satu atau dua hari untuk berlebaran. Selepas shalat, biasanya mereka berkumpul dengan keluarga atau komunitas sebangsanya disi makan-makan dan ramah tamah, persis seperti tradisi di Indonesia.

Mahasiswa dan masyarakat Indonesia umumnya memilih melaksanakan shalat idul fitri di KBRI di Brussel. Belgia yang luasnya tak lebih dari Jawa Barat ini membuat perjalanan ke Brussel hanya butuh maksimal 2,5 jam dari kota terjauh. Bagi saya dan teman-teman mahasiswa lainnya berlebaran di KBRI adalah pilihan paling rasional, mengingat jarak ditambah kerinduan suasana lebaran di tanah air. Maka setelah “ritual” menelpon orang tua dan keluarga di tanah air untuk bermaaf-maafan, berbondonglah-bondonglah mahasiswa dari kota-kota pelajar di Belgia (Leuven, Gent, Hasselt, Antwerpen dan Brussel sendiri) menuju  KBRI Brussel untuk berlebaran. Perjalanan bersama-sama ke Brussel naik kereta atau bertemu dengan mahasiswa Indonesia di kota lain di Brussel central station sebelum ke lokasi, merupakan kegemberiaan tersendiri. Suasana lebaran pun sedikit terasa.

Setiap tahun, KBRI mengadakan peringatan Idul fitri secara resmi. Diikuti oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belgia, staff KBRI, masyarakat dan pelajar Indonesia,  Shalat Id biasanya dilaksanakan lebih siang daripada di Indonesia, sekitar pukul 9. Biasanya, Ustadz Umar Bakhtir menjadi imamnya. Lantunan bacaan qur’an yang fasih dan merdu dari Qori’ asal Makassar ini menambah kehusyukan shalat ‘Id. Satu hal yang menarik, sesaat sebelum shalat dimulai, Ustadz Umar selalu menuntunkan lafazh niat shalat ‘Id kepada jama’ah, persis seperti tradisi Nahdliyyin. Setelah mendengarkan khutbah, acara dilanjutkan dengan ramah-tamah dan menikmati hidangan lebaran ala tanah air seperti ketupat dengan bungkus plastik (karena tidak ada daun kelapa), opor ayam, sambal goreng ati atau rendang yang menjadi menu favorit yang diserbu semua yang datang.

Rasa sedih pasti muncul bila mengingat orang tua dan orang-orang tercinta terlebih di saat-saat khusus seperti puasa dan lebaran. Namun, rasa syukur kepada Allah kami panjatkan bila mengingat tidak semua orang bisa merasakan puasa dan berlebaran di negeri orang.  Keberadaan saudara seagama dan sebangsa juga menguatkan kami menghadapi  saat-saat sulit ini. Lebih dari itu, banyak pengalaman dan pelajaran hidup yang kami dapatkan. Pelajaran untuk mandiri, saling menolong dan disiplin merupakan hal yangg sangat berharga. Kami juga belajar untuk mejalankan perintah Allah semata-mata karena keihklasan bukan karena tekanan sosial atau ikut-ikutan gempita lingkungan. Suatu hal yang tak mudah namun kami percaya buahnya akan kami petik kelak di kemudian hari.

Comments
7 Responses to “Puasa dan lebaran di Leuven, Belgia”
  1. evan says:

    hallo mas,
    kalo biaya hidup + akomodasi di leuven berapa ya perbulan ?

    thanks

    • Saya disana tahun 2010-2011 Mas Evan. Waktu itu apartemen 340 euro/bulan all in (apartemen punya universitas jadi bersubsidi). Biaya hidup 600 euro/bulan untuk saya, istri dan 1 balita umur 2 tahun dengan catatan, gaya hidup sederhana ala orang2 timur (tidak minum beralkohol, dugeman, masak setiap hari). Masih bisa jalan2 kok:)

  2. silvia pratidino says:

    hi mas,
    bagi pengalamannya dong disana dengan membawa anak balita? insyaallah tahun depan kami sekeluarga stay di leuven tapi masih banyak keraguan karena kami membawa balita 2thn juga. trims yaa 🙂

    • Halo Mbak Silvi!
      Kenapa harus ragu? Leuven sangat nyaman dan aman untuk balita. Kota kecil yang sangat internasional, semua fasilitas dalam jangkauan.
      Insya Allah saya akan tulis tentang pengalaman bawa balita

      • silvia pratidino says:

        alhamdulillah mas kalau seperti itu lumayan tenang rasanya.
        ditunggu sharing tentang membawa balita di leuven nya yaa mas insyaallah sangat berguna dan berharga sekali bagi kami.
        sekali lagi terimakasih 🙂

      • Yuni deprez says:

        Hey aku yuni, aku udh 4 thn meningkah dengan org Belgium dan ada 1 anak, dan selama ini kami hidup di jogya.
        Baru 1 bln ini kami pindah ke Belgium rencana utk menetap.
        Aku tinggal di Lembeek no 555 bagi orang indonesia yg tinggal di sekitar sini boleh Berteman tidak.
        Karena bingung kalau ngak ada teman atau orang yg kita kenal.
        Please salam kenal dari aku.
        No hpku 0479566693

      • Halo Bu Yuni, teman2 Indonesia banyak kok di Belgie. Pelajar Indonesia banyak terdapat di Leuven,Gent,Brussel dan Antwerpen. Beberapa alamat dan nomor kontak orang Indonesia di Belgie saya kirimkan ke alamat email Ibu ya?

Leave a comment