Mencintaimu dengan Sederhana: Sebuah Cerita tentang Indonesia

Ada banyak alasan untuk bangga menjadi orang Indonesia. Kekayaan alamnya yang tak tepermanai, negara kepulauan dengan tak kurang dari 17.000 pulau, keanekaragaman hayati yang tinggi, dan lautan yang luas merupakan anugerah Tuhan bagi bangsa ini. Belum lagi fakta bahwa bangsa ini memiliki keragaman suku dan bahasa terbesar di dunia menjadikan Indonesia istimewa. Secara geografis Indonesia terletak di garis khatulistiwa yang melintang membagi bola bumi menjadi dua bagian sama besar: utara dan selatan. Tidak banyak negeri di dunia ini yang memiliki posisi geografis yang sama. Posisi geografis itu memberi berkah: limpahan cahaya matahari, hutan hujan tropis yang menjadi paru dunia, dan keanekaragaman hayati yang mahakaya. Secara geopolitik, Nusantara terletak di antara dua samudera, hindia dan pasifik yang menjadikannya jalur penting pelayaran dunia. Semua fakta tersebut membuat negara kita mendapat banyak julukan: Indonesia zamrud khatulistiwa, sekeping surga yang Tuhan lemparkan ke dunia, adalah puja-puji yang sering saya dengar dari guru-guru saya ketika SD dulu.

 

Meski demikian, seiring bertambahnya usia, ada suatu masa dimana saya merasa kehilangan kebanggaan sebagai orang Indonesia. Semua puja-puji terhadap Indonesia saya anggap sebagai klise belaka. Realitas korupsi, kemiskinan, ketimpangan sosial, penegakan hukum yang tidak adil menjungkirbalikkan semua kebanggaan terhadap negeri ini. Bagaimana tidak, banyak kontradiksi yang saya lihat dalam pandangan saya. Kekayaan alam yang melimpah tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi warganya. Berapa banyak rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, anak-anak yang putus sekolah, ribuan pemuda menganggur dan tak terhitung balita yang kekurangan gizi menjadi contohnya. Bangsa ini pun konon terkenal ramah, meski demikian jutaan orang menjadi tumbal konflik politik pasca 65, korban jiwa sia-sia dari pelbagai konflik sosial budaya yang sukses mengubah imaji saya bahwa Nusantara dipenuhi orang-orang yang gemar menumpahkan darah.

 

Semua kemuakan itu mencapai titik nadirnya sesaat sebelum saya berangkat ke Belgia, ibu kota benua biru  untuk menempuh studi master. Awal mula tinggal di Belgia saya mengalami euphoria. Keteraturan, ketertiban dan keantikan eropa memukau saya. Saya ternganga melihat gedung-gedung kuno bersisian dengan jembatan lengkung beraspal batuan berdiri mesra berdampingan gedung-gedung modern. Kenyamanan transportasi, kepatuhan masyarakatnya pada hukum dan peraturan membuat saya jatuh hati. Inilah surga dunia sebenarnya! Teriak saya. Bagaimana dengan Indonesia? Ah, lupakanlah. Saya memang lahir di sana,  besar di sana namun sepertinya itu hanya kebetulan belaka. Pikir saya dengan angkuh.

 

Segala puji bagi Tuhan, euphoria tidak berlangsung lama. Perlahan namun pasti saya menemukan kembali kebanggan dan kecintaan pada Indonesia.

 

Semua bermula dari hal-hal sepele. Beberapa minggu di Belgia, saya kangen masakan Indonesia yang kaya bumbu dan berasa di lidah tidak seperti masakan eropa yang bumbunya “mengharukan”. Eropa yang serba teratur pun ternyata membuat saya stress dan merindukan fleksibilitas Indonesia. Sebuah koper yang hilang kuncinya saat di bandara hingga harus saya jebol menjadi penyebab rindu saya pada Indonesia, “negara sejuta tukang servis”. Sulit sekali memperbaiki koper tersebut di Belgia dengan biaya murah. Coba kalau di Indonesia! Sevis koper, kunci hilang, payung rusak, laptop rusak sampai sepatu jebol semua ada tukang  servisnya. Sejuta tukang servis adalah bukti kreatifitas dan keuletan orang Indonesia. Saya pun menulis note  di FB saya dengan judul : Merindu Sektor Informal. Isinya curahan hati tentang saya yang kangen angkringan, tukang bakmi yang buka sampai pagi buta atau laundry baju dengan harga “super-duper”murah!. Semuanya digerakkan oleh orang-orang yang Indonesia yang ulet dan tahan banting menggerakkan ekonomi lewat sektor informal.

 

Berangkat dari hal-hal remeh temeh tersebut saya tiba di sebuah kesadaran bahwa segala julukan dan pujian bagi Indonesia memang benar adanya. Sinar matahari yang kita nikmati sepanjang tahun adalah barang langka di eropa. Menurut teman-teman kuliah orang Indonesia itu ramah-ramah. Kita suka menyapa orang bahkan yang tidak kita kenal, sambil senyum pula. Senyum pun tak pernah lepas dari semua interaksi kita, orang yang terkena musibah pun menerima tamunya dengan senyuman, meski cuma seulas tipis di bibir. Siapa bilang orang Indonesia pemalas? Di negeri kita, tak sulit menemukan warung yang buka hingga larut malam, bahkan hingga 24 jam. Berangkatlah ke pasar tradisional pagi-pagi buta! Para penjual sayur keliling dan mbok-mbok gendong sudah memuati gerobak dan bakul-bakul mereka dengan sayur mayur. Persis gambaran Sapadi Djoko Damono dalam puisinya “Perempuan-perempua Perkasa”. Di eropa mana ada toko buka hingga larut malam atau pasar yang sudah ramai sejak subuh, mustahil!. Orang kita pun ulet dan tangguh, korban PHK tak akan segan alih profesi jadi ojek atau buka warung makan setelah berkali-kali ditolak melamar pekerjaan yang sama di perusahaan yang berbeda. Berbeda dengan di negara maju di mana orang cenderung melamar pekerjaan sejenis di perusahaan yang berbeda setelah kena PHK. Indonesia memang surga! Alamnya cantik orangya ramah dan ulet. Penjajahan dan struktur ekonomi politik dunia yang tidak adillah yang membuat kita masih tertinggal.

 

Suatu ketika seorang teman “bule” yang pernah ke Indonesia merangkum kesan postifinya tentang orang Indonesia dalam sebuah kata: Seimbang. Kita adalah orang yang seimbang dan mengutamakan harmoni. Bangsa ini tetap bisa tersenyum dalam penderitaan dan menangis penuh syukur kala bahagia. Prinsip keseimbangan itu melandasi banyak hal dalam kehidupan kita. Seimbang antara jasmani dan ruhani, antara masa kini dan masa lalu, antara kerja dengan hubungan sosial. Keseimbangn ini yang menurut saya mampu menjawab kontradiksi-kontradiksi yang saya kemukakan di awal tulisan. Alam yang kaya namun kemiskinan yang kita hadapi tidak membuat kita berputus asa terhadap rahmat Tuhan. Kita tetap bekerja keras penuh keuletan demi masa depan yang lebih baik. Itulah orang Indenesia, itulah Indonesia yang saya cintai!.

Comments
One Response to “Mencintaimu dengan Sederhana: Sebuah Cerita tentang Indonesia”
Trackbacks
Check out what others are saying...
  1. […] Source: Mencintaimu dengan Sederhana: Sebuah Cerita tentang Indonesia […]



Leave a comment